Orangtua Bijaksana, Anak Bahagia

Menjadi orangtua bukanlah sekadar memiliki anak dan menghidupinya, tetapi juga mendidiknya dengan ilmu agar sang anak tumbuh dengan kematangan intelektual, emosional, dan spiritual. Untuk itu penting sekali bagi kita mengikuti seminar atau pelatihan parenting, baik yang sudah atau belum memiliki anak, maupun yang belum menikah sekalipun, sebagai bekal untuk kita mendidik anak. Seperti itu yang kami jalani saat ini dengan menghadiri Seminar Parenting yang menjadi salah satu dari serangkaian kegiatan Mentoring Bisnis Nusantara di GBK Senayan Jakarta pada Sabtu 22 Desember 2018 yang lalu dengan tema “Orangtua Bijaksana, Anak Bahagia.”

(Sumber: Google)

Pada Seminar tersebut, Kang Febri selaku pembicara menyampaikan banyak hal inspiratif, di antara sebagai berikut:

Anak adalah Cetakan Orangtuanya

Kesalahan orangtua kebanyakan adalah seringnya bicara namun kering keteladanan. Apa yang diucapkan orangtua kerap tidak tercermin pada sikap dan perbuatannya. Seringkali orangtua menginginkan anaknya pemberani, sabar, lembut, disiplin, tapi orangtua tidak menujukkan  semua itu.

Pada ketika orangtua marah-marah saat macet, sang anak akan melihatnya, sehingga ia akan meniru marah-marah saat macet. Bila orangtua sering memanggil dengan nada tinggi, sang anak akan mengikuti dengan gemar berteriak-teriak ketika bicara. Andai orangtua kerap mengeluh ketika memiliki masalah, sang anak akan juga mudah menyerah ketika menghadapi permasalahan. Begitu seterusnya dan lain-lainnya. Kita yang tanpa kita sadari mencetak anak kita seperti diri kita.

Usia yang paling efektif dalam memberi nilai-nilai kepada anak adalah pada masa Golden Age di rentang usia 0-7 tahun. Pada masa ini seorang anak akan men-copypaste apa yang ia lihat dan rasakan dari sekelilingnya, terutama dari orangtuanya. Bahkan dalam teori komunikasi manusia memang lebih cenderung mempercayai apa yang ia lihat ketimbang apa yang ia dengar, sehingga aspek visual menyumbang 58% (sebagian besar) faktor dalam komunikasi efektif.

Maka, tak heran jika kita melihat anak kita penakut, jorok, senang memukul, mudah menyerah, atau sering mengeluarkan kata-kata buruk, mungkin saja karena kita mencontohkan demikian. Jadi sudah sepatutnya diri kita menjadi sosok orangtua teladan yang tidaklah sang anak mencontoh dari kita kecuali kebaikan-kebaikan.

Ilustrasi Anak Meniru Orangtua (Sumber: Youtube)

Pentingnya Peran Ayah dalam Mendidik Anak

Tugas mendidik anak bukanlah tugas Ibu semata, tetapi juga tugas sang Ayah. Perlu adanya keseimbangan antara Ibu dan Ayah. Karena dari Ayah, sang anak belajar kemandirian dan ketegasan. Karena dari Ibu, sang anak belajar empati dan kasih sayang. Keduanya harus sama-sama hadir dalam memberi peran terbaik kepada sang anak secara seimbang dan kompak.

Dalam Islam, peran Ayah begitu penting dalam mendidik anak. Dalam Al-Qur’an kita pun mendapati kisah Ibrahim terhadap Ismail, Ya’kub terhadap Yusuf, juga tentang sosok Imran dan Lukman dalam memberi nilai-nilai kepada anaknya. Semua itu untuk menjadi pelajaran bagi kita bahwa ayah memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada sang anak.

Anak laki-laki perlu mendapatkan contoh bagaimana menjadi pria yang bertanggung jawab, kuat, memiliki prinsip, dan memiliki narasi visi yang jelas dari ayahnya, selaku lelaki terdekat dalam awal hidupnya. Anak laki-laki yang tidak mendapat sentuhan dan perhatian dari ayah akan menjadi anak yang tidak memiliki narasi visi yang jelas. Sang anak juga cenderung lemah, tidak memiliki tujuan besar, dan tidak sedikit yang akhlaknya yang rusak karena pergaulan bebas. Betapa banyak kasus kenakalan remaja, maraknya anak-anak alay, dan disorientasi seksual di kalangan lelaki, sedikit banyak disebabkan ketidakhadiran sang Ayah dalam dalam mendidik anak.

Jangan ragu untuk memeluk anak setiba kita pulang bekerja. Biarkan ia mencium aroma tubuh sang Ayah. Karena di sanalah saat tepat memberi narasi tentang tanggung jawab dan kerja keras sebagai lelaki.

Jangan sungkan menunjukkan kepada anak bahwa tugas membetulkan keran, menutup genteng bocor, dan pekerjaan kelelakian lainnya, adalah tugas sang Ayah. Masalah sang Ayah bisa atau tidaknya itu perkara lain, yang penting tunjukkan dulu kepada anak bahwa itu tanggung jawab lelaki.

Dalam mendidik anak perempuan, peran Ayah juga tak kalah penting. Sang Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Ia menjadi sosok yang tangguh dan melindungi sang buah hati. Sang Ayah yang membersamainya akan menjadi sosok lelaki yang menjadi cinta pertamanya. Kelak jika ia dewasa, dirinya menjadi wanita yang tangguh. Tidak mudah jatuh hati pada sembarang lelaki hidung belang. Karena pujian dan rayuan telah ia biasa dapatkan dari Ayahnya. Kelak jika ia akan memilih sosok suami, ia akan menjadikan Ayahnya sebagai standarisasi lelaki sejati. Sebaliknya, jika sang Ayah tidak hadir dalam kehidupannya, anak perempuan akan cenderung berhati lemah, mudah mencari lelaki lain (pacar, pen.), dan tak sedikit yang mengalami disorientasi seksual.

Jangan bosan mendengar cerita anak perempuan. Karena memang fitrahnya sebagai perempuan untuk bicara lebih banyak daripada lelaki (penelitian menunjukkan perempuan memiliki kebutuhan bicara 20.000 kata, sementara lelaki hanya 7.000 kata per hari). Karena dari sana, sang Ayah akan mendapat tempat di hati anak perempuannya.

Jangan malu untuk bermain bersama anak perempuan. Apapun kondisinya. Tanamkan dalam diri bahwa menyenangkan hati sang anak adalah hal utama.

(Sumber: Google)

Setiap Anak Itu Istimewa

Adalah bijaksana apabila kita memahami bahwa setiap anak itu istimewa. Apapun yang ia miliki adalah potensi. Potensi apa yang bisa kita lihat dari cerewetnya anak? Komunikator ulung. Kelak bisa saja ia menjadi seorang negosiator, motivator, atau seorang orator.

Bagaimana dengan anak yang tidak bisa diam? Kinestetiknya optimal. Nanti bisa jadi atlet, polisi, atau seorang ninja (bisa saja).

Keras kepalanya mereka? Kuat pendiriannya. Memiliki prinsip yang teguh.

Cengengnya mereka? Empatinya bagus. Bisa jadi penulis best seller yang mengaduk-aduk perasaan pembacanya.

Pokoknya semua itu potensi.

Menariknya, orangtua kerap kali menilai kecerdasan anak dari satu standarisasi. Jika nilai raport sekolahnya tidak bagus, dinilai anaknya tidak cerdas. Bila anaknya tidak pernah juara di lomba-lomba, dikira anaknya tidak pintar. Padahal setiap anak tidak harus unggul dari anak lainnya di satu bidang saja. Karena pendidikan bukanlah kompetisi. Seorang anak yang lihai di seni, bukan berarti tidak cerdas lantaran tidak pandai matematika, bukan?

Maka dari itu, alangkah bijaksana apabila kita tidak melakukan komparasi terhadap anak kita, seperti membanding-bandingkan satu anak dengan anak lainnya (baik dengan saudara maupun dengan temannya), atau menyalahkan anak kita bila dirinya tidak seperti anak-anak kebanyakan.

[Kedaung, 24 Desember 2018]

Blog at WordPress.com.

Up ↑