
Saat buka dokumen-dokumen lama di laptop, rupanya ada file cerpen yang pernah saya buat saat dulu masih awal belajar menulis. Saya baca tulisan itu lagi. Awalnya aneh. Tapi saya baca lagi, eh makin jijik. Ceritanya gak jelas, maksa, dan absurd. Tapi biarlah, namanya juga masih belajar. Hehe… Oleh sebab itu, daripada dibuang sayang, saya posting saja di mari. Cerita ini saya buat mungkin kisaran tahun 2010 saat kuliah. Meski aneh, tapi tidak berkualitas. Haha…
____________
Bagai jeruk tanpa air, kusut! Ya, begitulah ia di pagi ini. Dengan mata merah, rambut awut-awutan, serta keriput di mana-mana, ia berjalan gontai keluar kamar. Pikirannya melayang pada angka timbangan berat badan yang baru saja ia tindih. Tidak tanggung-tanggung, beratnya 50 kg! Berkurang 20 kg dari tiga bulan yang lalu.
Tubuhnya yang setinggi 182 cm itu jelas tampak layu dengan balutan kulit tipis yang makin hari makin kering itu. Jika diibaratkan artis, mungkin ia sekurus Doyok, berwajah Dimas Beck, dan bercelana Jojon. Maklum saja, Mamanya selalu membelikannya celana yang besar-besar sejak ia di bangku sekolah.
“Ya kan nanti kalau kamu sudah besar, celana itu masih bisa dipakai. Jadi tidak usah beli lagi.” begitu tutur Mamanya ketika ia protes karena celananya banyak yang tidak muat.Dan kini ia sadar, ia harus mengikat ikat pinggannya lebih kencang mulai sekarang. Karena meski sudah tidak lagi belia, diameter tubuhnya tetaplah sama. Kurus!
Langkahnya kini memasuki kamar mandi. Sejurus kemudian tampaklah sosoknya yang tanpa baju di cermin.
Kerempeng? Mana keren!
Ah, selalu saja ada yang menusuk hatinya kala mengingat slogan iklan susu itu.
***
Namanya Budi. Lengkapnya Budidayakan Hewan Langka. Eh, maksudnya Budiman. Singkatan dari BUru-buru jaDI MANusia. Ayahnya memberi nama demikian lantaran ia lahir dengan berat 1,5 kilogram secara premature. Mungkin itu sebabnya Budi bakat kurus hingga sekarang. Padahal, ibu dan ayahnya termasuk jajaran manusia ‘daging tanpa tulang’ tingkat atas. Kakaknya yang perempuan pun sama, padat berisi. Adiknya yang masih balita juga montok. Bahkan kucing peliharaannya pun malas jalan-jalan lantaran over weight. Hanya Budi yang kurus.
Dulu saat masih kecil, sempat ia berpikir jangan-jangan ia adalah anak haram. Namun segera ia tepiskan pikiran itu. Ia betul-betul tahu siapa ayahnya, Supriadi Harap. Bukan Supriadi Haram. Bukan pula Suharam, Haramto, ataupun Haramsyah.
Budi memang tidak bakat gemuk. Buktinya semua tips menggemukkan badan telah ia lakukan. Mulai dari minum vitamin, istirahat yang cukup, jarang olah raga, hingga makan 5 kali sehari telah ia jalankan. Namun percuma, berat badannya tak kunjung bertambah. Paling maksimal 70 kilogram!
Tak ada teori ilmiah yang dapat menjelaskan fenomena kekurusan Budi, kecuali kesimpulan empirik sederhana bahwa berat badan Budi sangatlah sensitif, terutama terhadap hatinya. Semakin galau hatinya, semakin kurus pula tubuhnya. Pasalnya, ia tak habis pikir kenapa ia kurus. Hal itulah yang membuatnya galau, yang kemudian membuatnya kurus. Dan semakin galau. Dan semakin kurus. Semakin galau. Semakin kurus. Galau lagi. Kurus lagi…
(Eeiit… kalau begini ceritanya, bisa-bisa ceritanya kelar gara-gara Budi mati kekurusan ya!?)Read More »