Untuk Saudaraku: SEBONGKAH RINDU YANG MENCAIR

Saudaraku, aku merindukanmu…

Kala ingat pertama kita bertemu, di sebuah agenda sekolah. Kau tersenyum dan menyodorkan tangan padaku, sehingga aku dapat mengenali namamu. Sejak itu aku, kau, bersama saudara-saudara kita yang lain berjibaku dengan aktivitas yang menyenangkan, yang mana baru kuketahui itu adalah dakwah.

Kemudian seiring berjalannya waktu, tampuk kepemimpinan pun bergulir. Kau ingat, saat itu kita mendapat kesempatan untuk memimpin! Ya, nama-nama kita masuk sebagai nominasi yang nantinya akan duduk di jabatan-jabatan strategis itu. kulihat, kau begitu berwibawa manakala fotomu terpampang sebagai kandidat. Ah, aku sangat bangga padamu.

Lalu kita pun semakin sibuk. Sibuk dengan agenda-agenda dakwah sekolah. Setelah agenda satu selesai, agenda yang lain menanti. Walau begitu, aku merasa senang. Kenapa? Karena ada kau, saudaraku. Kau selalu memotivasiku. Tidak sekadar nasihat, tapi juga dari perangai yang dapat kulihat. Semangat dan ketulusanmu dalam berdakwah selalu membuatku bergetar. Sekarang pun, kalau ingat masa itu, aku senantiasa bertanya dalam hati, bagaimana bisa seorang anak remaja, yang masih SMA, bisa begitu bijaksana? Bahkan, ketika melihat wajahmu saja aku malu lantaran cahaya kesalehanmu begitu kuat terpancar.

Tahukah kau, saudaraku? Ketika itu, aku selalu memperhatikanmu. Aku kagum dengan kegigihanmu saat belajar di pengajian pekanan, sehingga kau menampakkan perbedaan cara berpikir dan sikap yang jauh lebih unggul daripada yang lain. Gagasan-gagasan cemerlang lahir begitu saja dari pemikiranmu.

 

Aku merindukanmu, saudaraku…

Kalaulah waktu bisa berhenti, pastilah aku ingin tiada yang pergi. Tak rela rasanya meninggalkan kebersamaan kita selama ini. Tapi aku sadar, itu hanya kerlap-kerlip masa lalu. Aku tahu, kita semua punya mimpi. Tapi tahukah? Berat sekali kehilanganmu saat ini. Jarak di antara kita membuat lorong hitam yang panjang dalam benakku. Beribu tanya menghampiriku, apa yang kau lakukan di sana, saudaraku? Apakah kau juga masuk sebuah lembaga dakwah yang sama sepertiku? Atau kau ikut organisasi dakwah yang lain?

Namun begitu, dunia kampus begitu baru di mataku. Berbeda sekali dengan sekolah yang dulu kita tempati. Agenda dakwahnya pun jauh dari perkiraanku. Kalau dulu kita setiap hari bertemu dengan jadwal yang sama, kini lain ceritanya. Sekarang jadwalku dengan saudara-saudara di sini tidaklah sama. Terkadang untuk bisa menyamakan waktu berdakwah, aku dan saudara-saudaraku harus beberapa kali mengelus dada kalau kenyataan hanya satu orang di antara kami yang bisa stand by. Tapi sering pula kami terharu, saat ada saudara-saudara yang merelakan waktu kuliah mereka hanya untuk menemani satu orang itu berdakwah. Hingga akhirnya aku mengerti, ada atau tidaknya kita di dakwah ini adalah pilihan. Tanpa kita pun, kereta dakwah akan tetap menuju ke Surga.

Saudaraku, tahukah kau? Aku pun sering lelah. Pernah terbesit pikiran untuk keluar dari dakwah dan menjadi mahasiswa biasa-biasa saja, yang mana habis kuliah langsung pulang. Tapi seketika aku teringat pada masa-masa indah kita dulu. Berpeluh kita terjatuh, hingga air mata menjadi saksi bisu berapa kali kita bangkit dan kembali bersatu. Untuk itu, aku di sini tidak akan menyerah, saudaraku. Aku akan tetap berjuang. Aku tidak ingin kereta dakwah pergi tanpa aku di dalamnya. Aku ingin terus masuk di kereta itu.

Aku berharap kau juga begitu, saudaraku. Meski tidak berada di gerbong yang sama, selama kita di kereta ini, aku yakin cepat atau lambat kita akan kembali bertemu. Tahukah kau, saudaraku? Sesekali aku tersenyum, saat membayangkan kita bertemu di sebuah agenda dakwah yang tak disangka-sangka, dan kau kembali menjabat tanganku dengan izzah yang semakin nyata. Tapi terkadang aku juga bersedih, kalau membayangkanmu ternyata jatuh, tak kuat menahan goda dunia di sana. Aku takut, kalau di kemudian hari aku tak lagi mengenali dirimu, karena tak kutemukan lagi cahaya di wajahmu.

Banyak pelajaran yang dapat kuambil dari perjalanan dakwah kampus ini, saudaraku. Bahwa betapa besar harga yang harus kita bayar, demi tetap berada di jalan kemuliaan ini. Untuk itu hanya dua kemungkinan arah perjalanan kita, saudaraku: menjadi kader dakwah militan atau futur bersama perangkap setan. Sudah banyak kulihat saudara-saudara kita yang berjatuhan di jalan ini. Semoga kau bukan di antaranya.

 

Saudaraku, aku merindukanmu…

Bagaimana kabarmu saat ini, saudaraku? Amanah apa yang tengah bersemat di pundakmu? Iklim dakwah apa yang kau rasakan? Sudah seberapa jauh proses tarbiyah-mu?

Saudaraku, bagaimanapun kondisimu, aku selalu berharap yang terbaik untukmu. Aku tahu perubahan itu mutlak mengiringi jalan hidup kita. Aku pun sadar bahwa kita tak begini terus selamanya. Jika selera memilih teman kita berubah, bagiku itu tak masalah. Kalau tempat nongkrong kita jadi beda, itu tak mengapa. Bila gaya bicara kita semakin aneh nantinya, itu juga hal biasa. Tapi jangan sampai ORIENTASI DAKWAH kita yang berubah, sehingga cara kita berpikir, beringkah, atau memilih teman bukan lagi karena Allah, karena dakwah, tapi karena rasa nyaman atau rasa senang semata, yang kemudian justru melalaikan kita dari nilai-nilai Islam yang selama ini kita bangun.

Bukankah pada awalnya kita bertemu di jalan Allah? Maka besar harapanku, apabila kita bertemu kembali nantinya, itu juga di jalan Allah, karena Allah. Jangan sampai kecintaan terhadap dakwah itu berkurang, saudaraku. Jangan sampai ada sifat apatis, apalagi pesimis terhadap dakwah. Karena hanya “penonton”-lah yang lebih banyak bicara dan kecewa, sementara dirinya diam tak berbuat apa-apa. Lain halnya “pemain”, yang tetap bekerja dan mulia, meski mereka dinilai berbeda.

Ya, mereka berbeda. Di saat yang lain lebih banyak menghabiskan seluruh waktunya untuk urusan pribadi, mereka malah menyisipkan di jadwal mereka waktu untuk mengurusi ummat. Ketika yang lain lebih suka tertawa bersenang-senang, mereka lebih sering menangis dengan tenang. Manakala yang lain selalu protes mengharap perubahan, mereka justru maju lebih dulu guna melakukan perubahan tersebut.

Ingatlah, saudaraku. Jalan ini memang sempit. Itu sebabnya sedikit orang yang berada di dalamnya. Jalan ini pun penuh onak dan duri. Karena itu hanya sedikit orang yang bisa bertahan. Jalan ini juga terjal. Makanya hanya sedikit yang bisa melaluinya. Tapi, jalan ini adalah jalan yang dicintai oleh Allah. Oleh sebab itu jalan ini tak akan pernah kosong meski diisi hanya oleh segelintir orang saja. Bagi mereka yang lemah akan terjatuh dan tergantikan. Lantas, apakah kita akan memilih untuk tergantikan, saudaraku? Ingatlah masa-masa indah kita dulu, yang memberi hidayah kepada kita tentang indahnya Islam, nikmatnya ukhuwah, serta betapa mahalnya keimanan.

Perjuangan kita belum mencapai titik, saudaraku. Ada sebuah koma yang menunggu kita melanjutkan kisah perjuangan selanjutnya, yang lebih indah, yang lebih hebat di depan sana.

Itu sebabnya saudaraku, aku sangat merindukanmu…

 

[Limo, 1 September 2011]

Maaf, saudaraku. Karena keterbatasanku, kerinduan ini hanya mampu kuungkapkan lewat tulisan.

Leave a comment

Blog at WordPress.com.

Up ↑